![]() |
Direktur Rumah Sakit dr R Soetrasno Rembang, Agus Setyo Hadi Purwanto (batik) foto bersama dengan dr Gatot Suharto (putih) dan Ketua PWI Rembang Musyafa. (Rom/Rembangcyber) |
REMBANGCYBER.net, KOTA - Manajemen RSUD dr R Soetrasno Rembang menggelar seminar bertema Kajian Hukum Kesehatan dalam Pelayanan dan Informasi Medis di Gedung Diklat Lantai 2, RSUD dr Soetrasno, Sabtu (22/2/2020).
Seminar menghadirkan tiga narasumber yakni dokter spesialis anak, dr Mayasari Dewi, dokter forensik Rumah Sakit Karyadi Semarang, dr Gatot Suharto dan Ketua PWI Rembang Musyafa.
Direktur Rumah Sakit dr R Soetrasno Rembang, Agus Setyo Hadi Purwanto mengatakan tujuan seminar untuk menambah wawasan pengetahuan para medis dan praktisi kesehatan terkait pelayanan kesehatan dari sudut pandang keterbukaan pers dan hukum kesehatan.
"Selain itu, kami ingin membangun sinergi dengan insan pers di Rembang dengan menjalin koordinasi dan komunikasi yang baik," ucap Agus.
Agus menambahkan, seminar memperingati Hari Ulang Tahun RSUD dr R Soetrasno ke-65 ini diharapkan dapat menambah ilmu baru bagi praktisi kesehatan di lingkup RSUD dan Puuskesmas di Kabupaten Rembang untuk dapat melayani kebutuhan informasi yang digali wartawan yang disampaikan kepada masyarakat dengan tidak melanggar hak-hak pasien.
"Misalnya, satu sisi ada aturan merahasiakan rekam medis seorang pasien, di sisi lain ada UU Pers. Ternyata melalui seminar diketahui titik temunya di mana. Kebetulan yang hadir mayoritas petugas medis dan wartawan. Kita berharap mereka saling memahami tugas pokok fungsi masing-masing," imbuhnya.
Agus menambahkan, RSUD dr Soetrasno Rembang kedepannya akan menyiapkan ruang media center di rumah sakit guna memudahkan para pewarta menggali informasi yang diperlukan.
"Jadi kalau ada peristiwa menonjol, segala sesuatunya bisa dikomunikasikan di ruang tersebut," tegas Agus.
Ketua PWI Rembang, Musyafa dalam paparannya mengatakan, kerja wartawan dilindungi oleh undang-undang. Seseorang yang menghalangi kerja wartawan atau pers dapat dijerat ancaman pidana 2 tahun penjara dan denda paling banyak Rp500 juta.
“Sama sekali nggak bermaksud menakut-nakuti, tapi memang aturan dalam Undang-Undang Pers seperti itu," ucapnya.
Meski demikian, imbuh Musyafa, pers tidak bisa sembarangan memberitakan karena ada aturan main dan kode etik yang harus ditaati.
Mengacu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), ada 10 jenis informasi yang tidak boleh diberitakan yakni; informasi yang dapat mengganggu proses penegakan hukum, informasi yang dapat mengganggu perlindungan hak atas kekayaan intelektual, informasi yang dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara, informasi yang dapat mengungkap kekayaan alam Indonesia, informasi yang dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional, informasi yang dapat merugikan hubungan luar negeri Indonesia, informasi yang dapat mengungkap informasi pribadi dalam data otentik atau kemauan terakhir wasiat seseorang, informasi yang dapat mengungkap rahasia pribadi
memorandum atau surat badan publik yang sifatnya rahasia, dan informasi yang tidak boleh diungkap berdasarkan Undang-Undang.
memorandum atau surat badan publik yang sifatnya rahasia, dan informasi yang tidak boleh diungkap berdasarkan Undang-Undang.
Musa merinci rahasia pribadi seseorang termasuk di dalamnya adalah rekam medis pasien. Pers tidak boleh mengungkapnya, karena informasi pribadi bukanlah konsumsi publik.
“Namun hak privasi seseorang juga dibatasi oleh kepentingan publik. Misalnya seseorang melakukan tindak pidana, di persidangan yang terbuka untuk umum, banyak informasi pribadinya diungkap dan pers dapat menyebarkan informasi tersebut. Contoh lain, peristiwa kecelakaan, wabah penyakit, bencana alam, identitas korban bisa diberitakan, tanpa mengganggu privasi, “ terang Musyafa.
Musyafa menegaskan, untuk pasien penderita HIV/Aids, korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), maupun korban tindak asusila, pers akan menutupi identitas yang bersangkutan.
“Berita menyangkut peristiwanya ndak masalah. Tapi tidak dengan identitasnya. Jangan sampai mudah terlacak. Kuncinya, kepentingan publik menjadi tolok ukur, suatu informasi layak dirahasiakan atau tidak," tegasnya.
Sementara itu, dr Gatot Suharto, yang meripakan ahli forensik Rumah Sakit Karyadi Semarang yang juga anggota Badan Hukum Dan Pembelaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Tengah menyampaikan berdasarkan kode etik kedokteran, seorang dokter wajib merahasiakan rekam medis pasien, bahkan sampai pasien meninggal dunia sekalipun.
“Ini tercantum dalam pasal 16 kode etik kedokteran. Tadi sudah disampaikan bagaimana batasan antara privasi dan publik," kata dr Gatot.
Dokter anak, dr Mayasari Dewi lebih banyak menyoroti masalah stunting di Kabupaten Rembang. Menurutnya untuk meminimalisir kasus stunting diperlukan kerjasama semua pihak baik pemerintah selaku stakeholder, praktisi kesehatan dan masyarakat. (Rom)
Kirim Komentar: