Imlek merupakan tradisi pergantian tahun yang dirayakan seluruh etnis Tionghoa apapun agamanya.
Perayaan tahun baru imlek di  Kelenteng Poo An Bio, Kabupaten Rembang tahun 2018. (Rembangcyber)

REMBANGCYBER.net - Hari ini, Sabtu, 25 Januari 2020, seluruh masyarakat etnis Tionghoa merayakan Imlek.

Perayaan Imlek sebagai bentuk pengucapan syukur, doa dan harapan agar mendapat rezeki dan sebagai media silaturahmi dengan keluarga dan kerabat.

Imlek merupakan tradisi pergantian tahun yang dirayakan seluruh etnis Tionghoa apapun agamanya.

Asal-usul Imlek berasal dari Tiongkok. Imlek dalam bahasa Tiongkok disebut dengan Chung Ciea yang berarti Hari Raya Musim Semi.
Perayaan Imlek mulai dikenal sejak jaman Dinasti Xia, yang kemudian menyebar ke penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Dahulu, Tiongkok dikenal sebagai negara agraris. Setelah musim dingin berlalu, masyarakat mulai bercocok tanam dan panen. Tibanya masa panen bersamaan waktunya dengan musim semi. Selanjutnya musim panen ini dirayakan oleh masyarakat.

Kegembiraan itu diwujudkan sikap masyarakat dengan saling mengucapkan Gong Xi Fa Cai, kepada keluarga, kerabat, teman dan handai taulan. Gong Xi Fa Cai artinya ucapan selamat dan semoga banyak rezeki. Adat ini kemudian di bawa oleh masyarakat Tionghoa ke manapun mereka merantau, termasuk ke Indonesia.

Perayaan Imlek dari Masa ke Masa
Masa Orde Lama
Pada era Orde Lama, Imlek tidak bisa terlepas dari suasana politik. Kala itu, perayaan Imlek diberikan tempat karena Presiden Soekarno membangun persahabatan dengan pemerintah Tiongkok. Apresiasi pemerintah terhadap Imlek itu dibuktikan dengan kebijakan Presiden Soekarno mengeluarkan Ketetapan Pemerintah tentang Hari Raya Umat Beragama Nomor 2/OEM Tahun 1946. Pada butir Pasal 4 disebutkan, Tahun Baru Imlek, Ceng Beng (berziarah dan membersihkan makam leluhur), dan hari lahir dan wafatnya Khonghucu sebagai hari libur.

Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 14/1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tiongkok. Inpres tersebut menetapkan bahwa seluruh upacara agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup.
Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, seluruh perayaan tradisi dan keagamaan etnis Tionghoa termasuk Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka. Termasuk tarian Barongsai dan Liong dilarang dipertunjukkan pada publik.

Masa Presiden Gus Dur
Situasi berubah ketika Gus Dur diangkat menjadi presiden ke-4 Republik Indonesia. Gus Dur membuka kebebasan beragama bagi masyarakat Tionghoa dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 pada tanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya).

Masa Presiden Megawati
Di era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, ia mengumumkan bahwa mulai 2003, Imlek menjadi hari Libur Nasional. Pengumuman ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek tertanggal 9 April.

Masa Presiden SBY
Hal serupa teejadi pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 2014, tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967. Keppres itu berisi tentang menghapus istilah "China" dan kembali ke istilah "etnis Tionghoa".

Menurut SBY, tidak adil apabila mereka yang sudah lahir, besar dan bekerja serta mengabdi di Indonesia masih mendapatkan streotype dengan penyebutan istilah etnis China atau Cina. Keppres Nomor 12 Tahun 2014 yang ditandatangani oleh SBY pada 14 Maret 2014 merupakan sebuah terobosan penting dalam upaya menciptakan suasana kehidupan yang bebas dari diskriminasi Ras dan Golongan.

Saat ini, perayaan Imlek semakin meriah. Ucapan Gong Xi Fa Cai makin bertebaran di ruang-ruang publik, seperti televisi, media cetak, dan media sosial.

Etnis Tionghoa merasakan kebebasan dalam menjalankan perayaan keagamaan sejak kebijakan yang menghormati pluralisme diberlakukan oleh Presiden Abdurahman Wahid. (Tim RC)

*Diolah dari berbagai sumber

Kirim Komentar: